PERKEMBANGAN ALIRAN SUREALISME DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Surealisme mulai berkembang di Eropa pada tahun 1924, dipengaruhi oleh teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Menurut Freud, manusia memiliki dua bagian utama dalam pikirannya, kesadaran yang hanya merupakan puncak gunung es, dan alam bawah sadar yang lebih luas. Alam bawah sadar ini menjadi tempat bagi mimpi dan perasaan yang direpresi yang muncul ke permukaan. Hasil dari perasaan-perasaan yang direpresi ini dapat membentuk ketidaksadaran dan gejala-gejala neurotis. Karena itu, mimpi kita dapat membawa kita ke dalam dunia yang berbeda dari realitas, sering kali kacau dan tidak sesuai.

Seniman surealis seperti Salvador Dali (1904-1989) menggunakan simbol-simbol yang berulang dalam karyanya, sering kali dengan berbagai interpretasi. Di Indonesia, seniman-seniman sejak tahun 1960-an juga menggunakan simbol-simbol seperti anjing, sapi, hitam, dan putih sebagai metafora untuk menyampaikan kondisi sosial politik pada masa itu. Kemungkinan besar, inspirasi untuk penggunaan simbol-simbol ini berasal dari mimpi yang muncul dari alam bawah sadar seniman-seniman tersebut.

Artikel ini bertujuan untuk menelusuri bagaimana perkembangan aliran surealisme di Indonesia. Hal ini dirasa penting mengingat pembicaraan mengenai Surealisme di Indonesia tidak sehiruk pikuk pembicaraan mengenai gaya lain pada praktek seni rupa modern. Padahal dalam kerangka seni rupa modern Barat, Surealisme muncul sebagai salah satu pernyataan protes terhadap perang dan kecemasan sosial lain yang timbul sebagai akibat dari instabilitas di berbagai bidang (Mega et al., 2021).

ANALISIS

1. Tahun 1960-an

Karya-karya yang dipilih mencerminkan evolusi surealisme dalam tiap dekade. Contohnya, "Dunia Anjing" karya Agus Djaja tahun 1965 dan "Si Hitam dan Si Putih" karya Danarto tahun 1963, menggambarkan situasi politik tahun 1960-an. Namun, karena tekanan dari gerakan kiri yang berpengaruh pada masa itu, seniman-seniman tidak melukiskannya secara langsung. Mereka menghadirkannya dalam gaya surealis, seperti dalam "Dunia Anjing" di mana sekelompok anjing terlibat dalam pertempuran massal yang tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Pemilihan warna merah juga memiliki makna simbolis terkait peta kekuasaan pada waktu itu.

2. Tahun 1970-an

Pada tahun 1970-an, karya-karya surealis tidak lagi menggambarkan keadaan politik yang kompleks seperti sebelumnya. Contoh karya yang mencerminkan tren ini adalah "Salib" (1974) karya Bagong Kussudiardjo, dan "Nenek" (1976) karya Amang Rahman Jubair. Karya lain yang menarik adalah "Peta Bumi Indonesia Baru" (1977) oleh Priyanto Sunarto, yang menggambarkan kepulauan Indonesia dalam posisi terbalik, mungkin sebagai metafora untuk perubahan signifikan yang terjadi di Indonesia.

"Salib" karya Bagong Kussudiardjo menampilkan karakteristik seni khasnya dengan tema spiritual Kristiani yang reflektif terhadap keyakinan pribadinya. Bagong sering menggunakan teknik distorsi dalam menggambarkan objek, termasuk figur-figur yang digambarkan dalam bentuk biting hitam tanpa detail anatomi yang akurat. Karyanya juga menunjukkan penggunaan teknik ciprat dan lelehan, yang memberikan gaya ekspresionis pada lukisannya. 

3. Tahun 1980-an

Pada tahun 1980-an, seniman-seniman memasuki fase baru dalam seni lukis dengan fokus pada keakuratan gambar, penggunaan warna kontras, dan gaya hiperrealisme. Pengaruh kuat dari Salvador Dali dapat terlihat dalam karya-karya seperti "Memori Ki Narto Sabdo" (1983-1985) oleh Suatmadji, "Kasih Ibu Sepanjang Masa" (1989) oleh Effendi, "Kelahiran" (1985) oleh Sutjipto Adi, "Meraba Diri" (1988) oleh Ivan Sagita, "Keterbatasan" (1984) oleh Lucia Hartini, dan "Pencarian Kedamaian" (1989) oleh I Gusti Nengah Nurata. Karya-karya ini menampilkan subjek-subjek yang terinspirasi dari bentuk-bentuk yang sering digunakan oleh Dali, seperti figur-figur yang bolong pada bagian tubuh yang tampak pada lukisan Effendi dan Ivan Sagita, serta deformasi-deformasi objek yang muncul pada karya-karya Suatmadji dan Sutjipto Adi.

Pada tahun ini, tidak ada jejak politik yang mencolok dalam karya-karya surealis ini, mencerminkan situasi politik yang lebih stabil dan terintegrasi. Hal ini memungkinkan seniman-seniman untuk lebih fokus pada eksperimen dengan bentuk-bentuk baru. Surealisme pada masa itu menjadi referensi yang populer bagi para seniman.

4. Tahun 1990-an

Pada tahun 1990-an, Dede Eri Supria menciptakan karya berjudul "Yang Berusaha Tumbuh" (1992), yang menggambarkan impian seniman tentang pembangunan yang terlalu besar pada masa itu. Lukisan ini menampilkan sebuah kebun yang tertutup oleh tumpukan beton, sebagai bentuk protes terhadap pembangunan yang merusak lingkungan. Dede Eri Supria, seorang pelukis realisme sosial, sering kali mengangkat isu-isu seperti ketimpangan ekonomi, dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan, dan ketidakadilan sosial, khususnya di bawah pemerintahan Orde Baru. Pengalaman Dede sebagai pembuat cover majalah di Tempo memberikannya wawasan mendalam akan ketidakadilan sosial ini.

5. Tahun 2000-an

Tahun 2000-an, ditandai dengan karya foto Oscar Matullah yang nampaknya sedang bermain-main dalam mengenang peristiwa Tsunami Aceh. Kita melihat ada kapal yang berdiri di jalan raya dalam karya “Soulscape Road” (2008). Suatu situasi yang real namun terasa surealistik. Demikian pula pada karya Nyoman Erawan, “Fathoming Cosmos” (2011), manusia yang digambarkan Erawan dengan suasana yang mengelilinginya, terasa surealistik.

KESIMPULAN

Kita melihat bentuk-bentuk surealistik dalam karya lukis Indonesia berlangsung dari dekade ke dekade (Sungkar, 2021), para seniman selalu menggunakan surealisme sebagai sarana untuk menyampaikan pemikiran yang ingin mereka ekspresikan. Konten dari karya-karya ini selalu beradaptasi dengan situasi pada era masing-masing. Pada tahun 1960-an, terjadi polarisasi politik dan budaya di Indonesia yang tercermin dalam karya seni, menunjukkan konflik antara aliran kiri dan kanan. Namun, pada tahun 1970-an, pesan politik mulai dihindari.

Tahun 1980-an menjadi masa di mana surealisme, terutama gaya yang terinspirasi oleh Salvador Dali, menjadi tren utama di Indonesia. Kemudian, pada tahun 1990-an, karya seni mulai mengandung protes terhadap pembangunan besar-besaran yang merugikan rakyat kecil. Hal ini tercermin dalam lukisan-lukisan dari dekade tersebut.

Masuk tahun 2000-an setelah Indonesia mengalami reformasi dan era politik yang lebih terbuka, seniman-seniman cenderung melakukan eksperimen lebih lanjut dalam menciptakan karya-karya surealistik. Oscar Matullah dan Nyoman Erawan, misalnya, memperlihatkan pengaruh teknologi dan efek visual yang kreatif dalam karyanya. Tidak seperti sebelumnya, karya-karya mereka tidak lagi menunjukkan pesan politik yang kuat, mungkin karena tidak ada rezim otoriter yang perlu dihadapi dalam konteks demokrasi saat itu.

DAFTAR PUSTAKA

Sugkar, A. (2021). Surealisme Dalam Seni Lukis Indonesia.

Mega, R., Kusumawardhani, I., Cahya, M., & Daulay, M. (2021). STUDI LITERATUR SUREALISME DI INDONESIA. Jurnal Komunikasi Visual, XIV(1).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENELITIAN TERKAIT ALIRAN SUREALISME DI INDONESIA

MAKNA WARNA DALAM KARYA SENI RUPA